Perlindungan Konsumen
Berdasarkan Undang - Undang Perlindungan Konsumen No.
8 tahun 1999, Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Sedangkan Konsumen
itu sendiri adalah orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Perlindungan konsumen
berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dankeselamatan konsumen,
serta kepastian hukum.
Contoh
Kementerian Kesehatan akhirnya mengumumkan hasil survei 47
merek susu formula bayi untuk usia 0-6 bulan. Hasil survei menyimpulkan, tidak
ditemukan bakteri Enterobacter sakazakii.Hasil ini berbeda dengan temuan
peneliti Institut Pertanian Bogor, yang menyebutkan, 22,73% susu formula (dari
22 sampel), dan 40% makanan bayi (dari 15 sampel) yang dipasarkan April hingga
Juni 2006 terkontaminasi E sakazakii. Apa pun perbedaan yang tersaji dari kedua
survei tersebut, yang jelas, kasus susu formula ini telah menguak fakta laten
dan manifes menyangkut perlindungan konsumen. Ini membuktikan bahwa hal-hal
menyangkut kepentingan (hukum) konsumen rupanya memang masih miskin perhatian
dalam tata hukum kita, apalagi peran konsumen dalam pembangunan ekonomi.
Tanggung Jawab Produk
Dalam
perlindungan konsumen sesungguhnya ada doktrin yang disebut strict product
liability, yakni tanggung jawab produk yang bertujuan untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen. Ini dapat kita lihat dalam Pasal 22 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang mengatur bahwa
pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan menjadi beban dan tanggung
jawab pelaku usaha. Doktrin tersebut selaras dengan doktrin perbuatan melawan
hukum (pasal 1365 KUHPerdata) yang menyatakan, “Tiap perbuatan melanggar hukum
yang membawa kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian, mengganti kerugian tersebut.”
Untuk dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum berdasar pasal 1365 KUHPerdata, suatu perbuatan harus memenuhi unsur-unsur, seperti adanya perbuatan melawan hukum, adanya unsur kesalahan, kerugian, dan adanya hubungan sebab-akibat yang menunjukkan adanya kerugian yang disebabkan oleh kesalahan seseorang. Unsur-unsur ini pada dasarnya bersifat alternatif. Artinya, untuk memenuhi bahwa suatu perbuatan melawan hukum, tidak harus dipenuhi semua unsure tersebut. Jika suatu perbuatan sudah memenuhi salah satu unsur saja, maka perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum.
Doktrin strict product liability masih tergolong baru dalam doktrin ilmu hukum di Indonesia. Doktrin tersebut selayaknya dapat diintroduksi dalam doktrin perbuatan melawan hukum (tort) sebagaimana diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Seorang konsumen, apabila dirugikan dalam mengonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian. Pihak di sini bisa berarti produsen/pabrik, supplier, pedagang besar, pedagang eceran/ penjual ataupun pihak yang memasarkan produk. Ini tergantung dari siapa yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen. Selama ini, kualifikasi gugatan yang masih digunakan di Indonesia adalah wanprestasi (default). Apabila ada hubungan kontraktual antara konsumen dan pengusaha, kualifikasi gugatannya adalah wanprestasi. Jika gugatan konsumen menggunakan kualifikasi perbuatan melawan hukum (tort), hubungan kontraktual tidaklah disyaratkan. Bila tidak, konsumen sebagai penggugat harus membuktikan unsur-unsur seperti adanya perbuatan melawan hukum. Jadi, konsumen dihadapkan pada beban pembuktian berat, karena harus membuktikan unsur melawan hukum.
Hal inilah yang dirasakan tidak adil oleh konsumen, karena yang tahu proses produksinya adalah pelaku usahanya. Pelaku usahalah yang harus membuktikan bahwa ia tidak lalai dalam proses produksinya. Untuk membuktikan unsur “tidak lalai” perlu ada kriteria berdasarkan ketentuan hukum administrasi negara tentang “Tata Cara Produksi Yang Baik” yang dikeluarkan instansi atau departemen yang berwenang.
Untuk dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum berdasar pasal 1365 KUHPerdata, suatu perbuatan harus memenuhi unsur-unsur, seperti adanya perbuatan melawan hukum, adanya unsur kesalahan, kerugian, dan adanya hubungan sebab-akibat yang menunjukkan adanya kerugian yang disebabkan oleh kesalahan seseorang. Unsur-unsur ini pada dasarnya bersifat alternatif. Artinya, untuk memenuhi bahwa suatu perbuatan melawan hukum, tidak harus dipenuhi semua unsure tersebut. Jika suatu perbuatan sudah memenuhi salah satu unsur saja, maka perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum.
Doktrin strict product liability masih tergolong baru dalam doktrin ilmu hukum di Indonesia. Doktrin tersebut selayaknya dapat diintroduksi dalam doktrin perbuatan melawan hukum (tort) sebagaimana diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Seorang konsumen, apabila dirugikan dalam mengonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian. Pihak di sini bisa berarti produsen/pabrik, supplier, pedagang besar, pedagang eceran/ penjual ataupun pihak yang memasarkan produk. Ini tergantung dari siapa yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen. Selama ini, kualifikasi gugatan yang masih digunakan di Indonesia adalah wanprestasi (default). Apabila ada hubungan kontraktual antara konsumen dan pengusaha, kualifikasi gugatannya adalah wanprestasi. Jika gugatan konsumen menggunakan kualifikasi perbuatan melawan hukum (tort), hubungan kontraktual tidaklah disyaratkan. Bila tidak, konsumen sebagai penggugat harus membuktikan unsur-unsur seperti adanya perbuatan melawan hukum. Jadi, konsumen dihadapkan pada beban pembuktian berat, karena harus membuktikan unsur melawan hukum.
Hal inilah yang dirasakan tidak adil oleh konsumen, karena yang tahu proses produksinya adalah pelaku usahanya. Pelaku usahalah yang harus membuktikan bahwa ia tidak lalai dalam proses produksinya. Untuk membuktikan unsur “tidak lalai” perlu ada kriteria berdasarkan ketentuan hukum administrasi negara tentang “Tata Cara Produksi Yang Baik” yang dikeluarkan instansi atau departemen yang berwenang.
Kedigdayaan Produsen
Berdasarkan
prinsip kesejajaran kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen, hal itu
mestinya tidak dengan sendirinya membawa konsekuensi konsumen harus membuktikan
semua unsur perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, terhadap doktrin
perbuatan melawan hukum dalam perkara konsumen, seyogianya dilakukan
“deregulasi” dengan menerapkan doktrin strict product liability ke dalam
doktrin perbuatan melawan hukum. Hal ini dapat dijumpai landasan hukumnya dalam
pasal 1504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menegaskan bahwa penjual
bertanggung jawab adanya “cacat tersembunyi” pada produk yang dijual.
Menurut doktrin strict product liability, tergugat dianggap telah bersalah (presumption of quality), kecuali apabila ia mampu membuktikan bahwa ia tidak melakukan kelalaian/kesalahan. Seandainya ia gagal membuktikan ketidaklalaiannya, maka ia harus memikul risiko kerugian yang dialami pihak lain karena mengonsumsi produknya. Doktrin tersebut memang masih merupakan hal baru bagi Indonesia. Kecuali Jepang, semua negara di Asia masih memegang teguh prinsip konsumen harus membuktikan kelalaian pengusaha. Sekalipun doktrin strict product liability belum dianut dalam tata hukum kita, apabila perasaan hukum dan keadilan masyarakat menghendaki lain, kiranya berdasarkan Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang No 14 Tahun 1970, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat (living law).
Menurut doktrin strict product liability, tergugat dianggap telah bersalah (presumption of quality), kecuali apabila ia mampu membuktikan bahwa ia tidak melakukan kelalaian/kesalahan. Seandainya ia gagal membuktikan ketidaklalaiannya, maka ia harus memikul risiko kerugian yang dialami pihak lain karena mengonsumsi produknya. Doktrin tersebut memang masih merupakan hal baru bagi Indonesia. Kecuali Jepang, semua negara di Asia masih memegang teguh prinsip konsumen harus membuktikan kelalaian pengusaha. Sekalipun doktrin strict product liability belum dianut dalam tata hukum kita, apabila perasaan hukum dan keadilan masyarakat menghendaki lain, kiranya berdasarkan Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang No 14 Tahun 1970, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat (living law).
Alhasil,
berkait kasus susu formula ada hal yang patut ditarik pelajaran. Ternyata,
selama ini yang masih terpampang adalah “kedigdayaan” produsen atau pelaku
usaha termasuk pengambil kebijakan. Terlihat, pihak-pihak terkait bersikap
defensif dengan seolah menantang konsumen yang merasa dirugikan untuk
membuktikan unsur “ada/tidaknya kelalaian/ kesalahan” terhadap sebuah
produk. Padahal, pihak-pihak berwenanglah yang harus membuktikan apakah
betul ada kesalahan/kelalaian dalam produknya tersebut.
A.
Hak konsumen adalah:
1. Hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa.
2. Hak
untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3. Hak
atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
atau jasa.
4. Hak
untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa yang
digunakan.
digunakan.
5. Hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
6. Hak
untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
7. Hak
unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
8. Hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau penggantian, apabila barang atau
jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimanamestinya.
9. Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
B.
Kewajiban konsumen adalah:
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan
prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan.
2. Beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa.
3. Membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4. Mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
C.
Hak pelaku usaha adalah :
1. Hak
untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan.
2. Hak
untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
3. Hak
untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen.
4. Hak
untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
5. Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang undanganlainnya.
D.
Kewajiban pelaku usaha adalah :
1. Beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2. Memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau
jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
3. Memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
4. Menjamin
mutu barang atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan
standar mutu barang atau jasa yang berlaku.
5. Memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barangatau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat atau
yang diperdagangkan.
6. Memberi
kompensasi, ganti rugi atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang atau jasa yang diperdagangkan.
7. Memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar